Minggu, 25 Juli 2010

Refleksi Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan*

{Desember 2, 2009}
Oleh: Linda Sudiono
Koord. JNPM Wilayah Yogyakarta

Sejarah dunia telah membuktikan bahwa perempuan mampu telibat dalam berbagai bentuk pergerakan rakyat yang telah berkontribusi terhadap tegaknya demokrasi dunia. Gelombang perlawanan rakyat –laki-laki dan perempuan–dalam menggulingkan kekuasaan absolut raja louis IV , partisipasi perempuan amerika latin dalam menentang kediktatoran militer, kemajuan kesadaran perempuan Indonesia untuk terlibat dalam perjuangan kemerdekaan merupakan segelintir contoh keterlibatan perempuan dalam perjuangan pembebasan rakyata di seluruh belahan dunia. Isu-isu yang diperjuangkan tidak hanya persoalan kesetaraan perempuan namun lebih meluas, menyangkut persoalan negara, pembebasan rakyat secara keseluruhan.

Melalui momentum hari anti kekerasan terhadap perempuan yang jatuh pada tanggal 25 November 2009 yang diperingati selama 16 hari menuju hari HAM sedunia, mari kita refleksikan kembali kondisi perempuan yang masih terus mengalami diskriminasi akibat budaya patriarki dan penindasan dari sistem neoliberalisme yang tidak memihak. Mari kita bangun kesadaran tentang arti pentingnya perjuangan pembebasan perempuan bagi terwujudnya masyarakat yang setara, adil dan demokratis, seperti halnya disampaikan oleh pramoedya ananta toer “perempuan adalah lautan kehidupan, maka hormatilah dia”

Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia

Ide-ide pembebasan perempuan yang diinjeksikan melalui surat-surat kartini dalam “habis gelap terbitlah terang” yang diterbitkan oleh suami isteri J.H Abendanon dianggap sebagai salah satu referensi yang paling berkontribusi bagi kebangkitan kesadaran perempuan dalam memperjuangkan haknya sebagai manusia. Perempuan mulai sadar akan posisinya yang tertindas oleh budaya patriarki (yang semakin tumbuh subur pada zaman feodal) serta kolonialisme yang telah menutup kesempatan bagi kaum perempuan untuk maju dan bangkit. Ide-ide tentang perjuangan pembebasan perempuan mulai hangat diperbincangkan, organisasi perempuan pun mulai tumbuh subur di seluruh pelosok tanah air. Perempuan Indonesia sadar bahwa perjuangan pembebasan perempuan tidak mungkin dapat berjalan masif tanpa melibatkan partisipasi perempuan dalam skala besar, sehingga terbitlah koran perempuan pertama yang bernama “Poetri Hindia” untuk semakin menyebar luaskan ide-ide pembebasan perempuan keseluruh Indonesia. Pada tahun 1912, organisasi perempuan pertama “perempuan mardika” terbentuk sebagai salah satu wadah bagi perempuan Indonesia untuk memperoleh akses informasi dan ilmu pengetahuan di tengah situasi ekonomi, politik dan budaya yang tidak memungkinkan akses perempuan terhadap pendidikan secara bebas.

Sesudah tahun 1920 organisasi perempuan yang merepresentasikan berbagai kepentingan perjuangan perempuan seperti pendidikan, budaya dan kolonialisme bertambah jumlahnya. Kebangkitan nasionalisme semakin membuka kesempatan bagi perempuan untuk belajar, sehingga isu-isu yang dibicarakan pun tidak sebatas pada pembebasan perempuan namun semakin meluas pada dimensi sosial politis yang lantang menyuarakan kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 22-25 Desember 1928 kongres perempuan I pun diselenggarakan dengan tujuan menyatukan kekuatan semua organisasi perempuan yang terbangun namun masih fragmentatif. Kenyataan ini membuktikan bahwa pergerakan pembebasan perempuan Indonesia pernah mengalami titik terang dan kemajuan yang begitu dasyat sebelum di hancurkan oleh rezim anti demokrasi yang berkuasa. REZIM ORDE BARU.

Peristiwa gerakan 30 september menjadi titik awal penghancuran gerakan perempuan di Indonesia. Dengan kebijakan politiknya yang anti demokrasi, embrio pemerintahan rezim orde baru mulai melakukan penghancuran secara besar-besaran terhadap semua politik dan Organisasi “Kiri” yang dituduh telah melakukan subversif dan mengganggu stabilitas keamanan negara. Gerakan wanita Indonesia (Gerwani) yang merupakan organisasi perempuan yang paling besar dan berpengaruh dalam sejarah pergerakan pembebasan perempuan Indonesia resmi dinyatakan sebagai organisasi terlarang pada tahun 1966 karena dianggap mempunyai kaitan erat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Perempuan Indonesia mulai dicekokin dengan pasokan ideologi ibuisme yang dengan cepat menggeser peran perempuan dalam ranah politik Indonesia. Penghancuran rezim orde baru terhadap gerakan pembebasan perempuan progresif semakin membuktikan bahwa gerakan perempuan Indonesia telah menajdi bagian dari sejarah yang telah berkuasa.

Perjuangan Pembebasan Perempuan Pasca Reformasi

Pramoedya Ananta Toer melalui karyanya dalam Roman “Bumi Manusia” merepresentasikan ide tentang pembebasan perempuan melalui sosok seorang Nyai Ontosoroh. Sebagai seorang perempuan yang hidup pada zaman feodal dengan statusnya sebagai nyai simpanan, kehidupannya selalu dilingkupi kehinaan. Hebatnya, Nyai Ontosoroh sadar akan kondisi tersebut dan terus belajar, agar dapat diakui sebagai manusia. Nyai ontosoroh berkeyakinan bahwa, belajar merupakan senjata ampuh untuk melawan penghinaan, kebodohan dan kemiskinan. Walaupun sosok Nyai ontosoroh hanyalah tokoh fiksi, namun secara obyektif tidak mustahil muncul perempuan berkesadaran maju pada era itu jika kesempatan akses informasi dan pendidikan mampu didapatkan. Sayangnya, kegigihan Nyai ontosoroh tidak banyak menjadi inspirasi bagi kebangkitan gerakan perempuan karena roman Bumi Manusia pernah dilarang terbit oleh rezim kediktatoran militer orde baru.

Perjuangan gerakan demokratik yang berhasil menjatuhkan rezim orde baru telah memberikan landasan bagi berkembangnya kesadaran, gerakan dan organisasi-organisasi perempuan beserta berbagai gagasannya, yang menentukan bagi arah perjuangan perempuan saat ini. Berbagai kebijakan yang tampaknya mengakomodir kepentingan perempuan mulai dibentuk, misalnya politik kuota 30 % untuk perempuan di parlemen dan dibentuknya Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Bagaimanapun pentingnya, peraturan perundangan hanyalah merupakan sebuah permulaan saja, perubahan politiklah yang akan terus berkelanjutan dengan diikuti perubahan dibidang ekonomi, sosial dan budaya(Sarah Wagner). Adalah mustahil pembebasan perempuan dapat tercapai di tengah kondisi ekonomi politik Indonesia yang masih menghamba pada sistem neoliberalisme. Wujud paling konkrit dari dampak Neoliberalisme terhadap kaum perempuan ditunjukkan dalam bentuk feminisasi kemiskinan dan kekerasan terhadap perempuan. PBB mengungkap bahwa dari 1,3 miliar warga miskin dunia, 70 % diantaranya adalah perempuan. Di satu sisi Demi untuk meningkatkan hasil produksi, kapitalisme memang telah berhasil “menyelamatkan” perempuan dari kegelapan domestik untuk terlibat dalam produksi komoditi, namun di sisi lain tetap melanggengkan streotipe perempuan sebagai pekerja tambahan agar dapat memberi upah yang lebih rendah walaupun kualitas dan kuantitas kerjanya lebih tinggi.

Wujud lain dari dampak neoliberalisme terhadap kaum perempuan adalah kekerasan terhadap perempuan. Sebagai contoh, Di tengah kesadaran palsu masyarakat yang memberikan predikat superior bagi laki-laki, Perempuan menjadi sasaran yang sangat rentan terhadap luapan kekesalan dan emosi suami yang dianggap sebagai pencari nafkah ‘utama’ di tengah himpitan ekonomi akibat badai krisis yang melanda Indonesia. Neoliberalisme juga menjadi kontributor paling besar terhadap maraknya perdagangan perempuan, meningkatnya angka kekerasan terhadap tenaga kerja wanita di luar negeri dan tingginya angka kematian Ibu di Indonesia akibat komersialisasi akses kesehatan.

Mayoritas masyarakat menyalahartikan bahwa emansipasi, kesetaraan gender berarti perempuan telah dilibatkan dalam berbagai jabatan publik dan diberi posisi yang tinggi melampaui laki-laki. Perempuan yang berkutat pada perjuangan legal formal ini tidak pernah menyadari bahwa masih banyak sekali perempuan (yang tidak mempunyai akses karena miskin) harus menanggung beban ketidak adilan, ketidak setaraan dan ketidak sejahteraan. Perjuangan mereka menjadi semu ketika tidak dibarengi dengan pembangunan landasan dan kaki yang kuat pada basis massa. Hanya melalui pembangunan basis massa maka perempuan akan sadar dengan kekuatannya sendiri, sadar dengan penindasan yang selama ini membelenggu kebebasannya. Dengan metode mobilisasi massa dan alat organisasi maka akan semakin mampu memndorong keterlibatan perempuan untuk ikut memkirkan nasib rakyat serta meningkatkan kesadaran politisnya.

* versi yang berbeda dimuat dalam Koran Berita Nasional Jogja pada hari Senin tanggal 30 November 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar