Minggu, 25 Juli 2010

Konferensi Cendekiawan Islam Internasional


Jumat, 23 Juli 2010 18:54:20 Nasional
JOKO SANTOSO

Konferensi Cendekiawan Islam Internasional atau yang lebih dikenal dengan International Conference of Islamic Scholars (ICIS) kemarin (22/7) menggelar milad ke-6 dengan mengadakan halaqah atau seminar perdamaian di Hotel Millenium, Jakarta.

Dalam halaqah tersebut ICIS menghadirkan sejumlah pembicara ternama baik dalam negeri maupun mancanegara. Selain para pembicara ternama, konferensi perdamaian ini juga turut mengundang sejumlah tokoh negara (berpenduduk) Islam. Salah satunya mantan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi dan mantan Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri.

Sekretaris Jenderal ICIS KH Hasyim Muzadi, mengatakan ICIS lahir untuk menyamakan pandangan di antara negara-negara yang berpenduduk Muslim dengan mengampanyekan Islam sebagai `rahmatan lil alamin`.

Untuk keperluan itu, Sekjen ICIS menggandeng sejumlah tokoh nasional yang diposisikan sebagai dewan pakar, antara lain mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, serta dua mantan Menteri Agama yakni KH Quraish Shihab dan KH Tholhah Hasan, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono dan pendiri ESQ Ary Ginanjar Agustian.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud M.D, dalam halaqah ini Mahfud menjelaskan bagaimana ‘membangun sinergitas hukum Islam dan hukum nasional’. Ia mengungkapkan bahwa hukum Indonesia selama ini dipengaruhi oleh hukum Islam, hukum sipil Belanda, dan hukum adat.

“Ketiga sumber hukum tersebut telah menjadi sumber hukum materiil yang mewarnai corak hukum di Indonesia,” ucap pria kelahiran Sampang, Madura, 13 Mei 1957.

Mahfud menegaskan ada beberapa para pelopor pendiri mengharapkan Indonesia menggunakan hukum Islam bahkan membangun negara Islam, ide ini berdasarkan 90% penduduk Indonesia pada saat itu memeluk Islam.

Mahfud menegaskan bahwa dirinya tidak setuju negara Indonesia menggunakan hukum berdasarkan agama tertentu. Dengan kata lain, hukum agama tertentu tidak boleh diberlakukan dalam sebuah yurisdiksi, karena akan berakibat terjadinya pemaksaan dan diskriminasi terhadap pemeluk agama lain.

“Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler, melainkan negara Pancasila, yakni sebuah religious nation state atau negara kebangsaan yang dijiwai oleh agama,” jelasnya.

Sedangkan tokoh perubahan moral di Indonesia yang terkenal dengan konsep ESQ 165-nya Ary Ginanjar Agustian, memberikan cara bagaimana menyinergikan kehidupan dunia dengan ajaran agama.

“Hampir 40 tahun kita belajar SDM selalu bersumber dari dunia barat, tanpa kita sadari ketika belajar manajemen sesungguhnya kita belajar good governace, bicara good governance sama dengan bicara tentang akhlak,“ ucapnya.

Ary ingin menjembatani antara modernisasi dengan kaidah-kaidah agama, karena di Indonesia telah terjadi krisis multidimensi yang sangat memprihantinkan. Sehingga terjadi pengkotak-kotakan dan masyarakat lebih mengedepankan kecerdasan intelektual (IQ) dan materialisme, tetapi mengabaikan kecerdasan emosi (EQ) terlebih lagi kecerdasan spiritual (SQ).

“Bila masyarakat Indonesia telah menjadi manusia yang spritual dan beragama, maka Indonesia tidak akan menjadi bangsa yang korupsi. Artinya kalau orang sudah melaksanakan perintah agama, maka ia tidak akan melaksanakan larangannya seperti korupsi,” imbuhnya.

Menurut Ary untuk mengatasi masalah yang tersebut diperlukan metode pembangunan spiritual yang berlandaskan kepada rukun iman, islam, ihsan. Sehingga akan mengoptimalkan ketiga kecerdasan yang dimiliki oleh manusia yaitu IQ, EQ, dan SQ. (jos)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar